32.8 C
Surabaya
28 April 2025, 17:42 PM WIB

Malam Selaweh, Ngalap Berkah ke Makam Sunan Giri Gresik

OLEH: Edhy Aruman (@gresikpedia.blogpsot.com)

NANTI malam, Gresik bakal tidak tidur. Jalan-jalan sempit akan dipenuhi langkah-langkah peziarah. Udara malam akan dipenuhi aroma dupa, jajanan khas, dan harapan.

Di langit, bintang-bintang seakan mendengarkan doa-doa yang lirih mengalir dari ribuan mulut yang khusyuk—karena malam ini adalah Malam Selaweh, malam yang dinanti-nanti oleh warga Gresik dan para pencari berkah dari segala penjuru.

Bagi umat Islam, sepuluh malam terakhir Ramadhan adalah waktu paling sakral, penuh harapan bertemu Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Namun bagi masyarakat Gresik, malam ke-25 Ramadhan punya pesona tersendiri.

Bukan hanya malam ibadah—tapi malam rezeki, malam silaturahmi, malam keramaian yang diberkahi.

Malam ini, kompleks Makam Sunan Giri akan menjadi pusat semesta. Sejak sore, arus manusia akan mengalir deras menuju bukit Giri, tempat Sunan Giri—salah satu Wali Songo—beristirahat dalam damai. Mereka datang dengan harap: memohon ampun, berkah, dan keselamatan dunia-akhirat.

Di Masjid Jamik Sunan Giri, tempat Sunan Giri dahulu mengajar dan beriktikaf bersama para santrinya, suasana khusyuk akan menyelimuti. Lantunan tadarus Al-Qur’an, dzikir, dan shalat sunnah tak putus sepanjang malam.

Di tengah keriuhan peziarah, suasana spiritual membuncah, menyatukan semua dalam keheningan yang menggugah.

Namun Malam Selaweh tak hanya milik peziarah. Sepanjang jalan menuju makam akan berubah jadi lautan manusia dan dagangan. Tenda-tenda kecil berdiri, lampu minyak dan bohlam gantung menerangi jalan.

Hiasan lampu damar kurung yang menghiasi langit di kawasan Giri, Gresik. (Foto: Istimewa)

Di sana-sini, pedagang kaki lima menawarkan segalanya—mainan anak, pakaian muslim, perhiasan, hingga makanan khas Gresik seperti jubung, pudak, dan otak-otak bandeng. Jalanan seperti mendadak menjadi pasar malam terbesar di Gresik, namun dengan nuansa religius yang kental.

Bagi sebagian pedagang, malam ini adalah momen emas—jualan bisa berkali lipat dari biasa. Tak heran, banyak pedagang dari luar Gresik pun turut meramaikan. Esok paginya, mereka hijrah ke Jl. Samanhudi untuk bersiap mengikuti Pasar Bandeng, tradisi lainnya yang tak kalah unik.

Untuk warga Gresik yang bekerja di sektor kerajinan rumahan—pengrajin songkok, konveksi pakaian, pembuat perhiasan—malam selaweh adalah batas akhir. Semua pekerjaan harus selesai malam ini. Barang produksi disetor ke toko, dan besali—workshop rumahan—dibereskan, disulap menjadi rumah layak huni, bersih, dan rapi menyambut Idul Fitri.

Sisa hari menjelang lebaran digunakan untuk berkumpul, bersih-bersih, dan beristirahat. Kota Gresik pun perlahan-lahan menjadi sepi, ditinggal para pekerja harian yang mudik ke kampung halamannya.

Saya sendiri hanya sekali menyaksikan ramainya malam selaweh. Saat itu, saya mendatangi sahabat lama, Dewi Kurnia, di Klangonan, hanya beberapa ratus meter dari Makam Sunan Giri.

Kami berbincang ringan, menyerap atmosfer malam yang terasa istimewa. Suasana yang ramai, namun menenangkan. Di tempat itu, saya menyadari: silaturahmi selalu membawa rezeki—baik dalam bentuk materi, ilmu, maupun kebahagiaan.

Dari Gresik, dari desa-desa seperti Giri Kedaton, Klangonan, hingga Sido Mukti, sejarah, kerajinan, dan kehangatan warga mengalir menyatu. Bahkan, dari keterampilan melapis tembaga dengan emas yang diajarkan Cak Mashudi kepada kakak dan sepupu saya, rezeki kami mengalir—membuktikan bahwa tradisi, silaturahmi, dan usaha adalah tiga pilar berkah.

Malam Selaweh adalah malam tentang doa dan dagang, tentang silaturahmi dan usaha, tentang keramaian dan kekhusyukan. Di Gresik, malam ini tak sekadar malam—ia adalah warisan budaya, spiritualitas, dan ekonomi rakyat yang berjalan seiring, memberi warna pada Ramadhan, memberi harapan bagi masa depan. (*)

OLEH: Edhy Aruman (@gresikpedia.blogpsot.com)

NANTI malam, Gresik bakal tidak tidur. Jalan-jalan sempit akan dipenuhi langkah-langkah peziarah. Udara malam akan dipenuhi aroma dupa, jajanan khas, dan harapan.

Di langit, bintang-bintang seakan mendengarkan doa-doa yang lirih mengalir dari ribuan mulut yang khusyuk—karena malam ini adalah Malam Selaweh, malam yang dinanti-nanti oleh warga Gresik dan para pencari berkah dari segala penjuru.

Bagi umat Islam, sepuluh malam terakhir Ramadhan adalah waktu paling sakral, penuh harapan bertemu Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Namun bagi masyarakat Gresik, malam ke-25 Ramadhan punya pesona tersendiri.

Bukan hanya malam ibadah—tapi malam rezeki, malam silaturahmi, malam keramaian yang diberkahi.

Malam ini, kompleks Makam Sunan Giri akan menjadi pusat semesta. Sejak sore, arus manusia akan mengalir deras menuju bukit Giri, tempat Sunan Giri—salah satu Wali Songo—beristirahat dalam damai. Mereka datang dengan harap: memohon ampun, berkah, dan keselamatan dunia-akhirat.

Di Masjid Jamik Sunan Giri, tempat Sunan Giri dahulu mengajar dan beriktikaf bersama para santrinya, suasana khusyuk akan menyelimuti. Lantunan tadarus Al-Qur’an, dzikir, dan shalat sunnah tak putus sepanjang malam.

Di tengah keriuhan peziarah, suasana spiritual membuncah, menyatukan semua dalam keheningan yang menggugah.

Namun Malam Selaweh tak hanya milik peziarah. Sepanjang jalan menuju makam akan berubah jadi lautan manusia dan dagangan. Tenda-tenda kecil berdiri, lampu minyak dan bohlam gantung menerangi jalan.

Hiasan lampu damar kurung yang menghiasi langit di kawasan Giri, Gresik. (Foto: Istimewa)

Di sana-sini, pedagang kaki lima menawarkan segalanya—mainan anak, pakaian muslim, perhiasan, hingga makanan khas Gresik seperti jubung, pudak, dan otak-otak bandeng. Jalanan seperti mendadak menjadi pasar malam terbesar di Gresik, namun dengan nuansa religius yang kental.

Bagi sebagian pedagang, malam ini adalah momen emas—jualan bisa berkali lipat dari biasa. Tak heran, banyak pedagang dari luar Gresik pun turut meramaikan. Esok paginya, mereka hijrah ke Jl. Samanhudi untuk bersiap mengikuti Pasar Bandeng, tradisi lainnya yang tak kalah unik.

Untuk warga Gresik yang bekerja di sektor kerajinan rumahan—pengrajin songkok, konveksi pakaian, pembuat perhiasan—malam selaweh adalah batas akhir. Semua pekerjaan harus selesai malam ini. Barang produksi disetor ke toko, dan besali—workshop rumahan—dibereskan, disulap menjadi rumah layak huni, bersih, dan rapi menyambut Idul Fitri.

Sisa hari menjelang lebaran digunakan untuk berkumpul, bersih-bersih, dan beristirahat. Kota Gresik pun perlahan-lahan menjadi sepi, ditinggal para pekerja harian yang mudik ke kampung halamannya.

Saya sendiri hanya sekali menyaksikan ramainya malam selaweh. Saat itu, saya mendatangi sahabat lama, Dewi Kurnia, di Klangonan, hanya beberapa ratus meter dari Makam Sunan Giri.

Kami berbincang ringan, menyerap atmosfer malam yang terasa istimewa. Suasana yang ramai, namun menenangkan. Di tempat itu, saya menyadari: silaturahmi selalu membawa rezeki—baik dalam bentuk materi, ilmu, maupun kebahagiaan.

Dari Gresik, dari desa-desa seperti Giri Kedaton, Klangonan, hingga Sido Mukti, sejarah, kerajinan, dan kehangatan warga mengalir menyatu. Bahkan, dari keterampilan melapis tembaga dengan emas yang diajarkan Cak Mashudi kepada kakak dan sepupu saya, rezeki kami mengalir—membuktikan bahwa tradisi, silaturahmi, dan usaha adalah tiga pilar berkah.

Malam Selaweh adalah malam tentang doa dan dagang, tentang silaturahmi dan usaha, tentang keramaian dan kekhusyukan. Di Gresik, malam ini tak sekadar malam—ia adalah warisan budaya, spiritualitas, dan ekonomi rakyat yang berjalan seiring, memberi warna pada Ramadhan, memberi harapan bagi masa depan. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/