METROTODAY, JAKARTA – Tersangka kasus dugaan suap penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO) untuk tiga perusahaan besar bertambah. Kejaksaan Agung menetapkan tiga hakim sebagai tersangka, yaitu Djuyamto (DJU), hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, serta Agam Syarief Baharudin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) yang merupakan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Tiga hakim tersebut menyusul Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta (MAN) yang lebih dulu ditetapkan tersangka kasus dugaan suap terkait putusan lepas (ontslag) perkara ekspor CPO atau minyak kelapa sawit mentah. Putusan ontslag itu dalam perkara yang melibatkan tiga grup korporasi besar, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.
Direktur Penyidikan (Dirdik) JAM Pidsus Kejagung Abdul Qohar mengatakan, penetapan tersangka tiga hakim itu merupakan pengembangan dari penyidikan dugaan praktik suap Rp 60 miliar dalam pengurusan perkara korupsi berkaitan pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya oleh tiga korporasi besar.
Pada 19 Maret 2025, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi PN Jakarta Pusat menyatakan bahwa para terdakwa korporasi terbukti melakukan perbuatan, namun dinyatakan bukan sebagai tindak pidana (ontslag van alle recht vervolging). Perkara itu disidangkan oleh Djuyamto selaku ketua majelis, Agam Syarief selaku anggota majelis, dan Ali Muhtarom merupakan hakim ad hoc.
Saat perkara tersebut disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta menjabat wakil ketua PN Jakarta Pusat.
Penyidik Kejagung menduga Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom menerima suap dari Muhammad Arif Nuryanta sebesar Rp 22,5 miliar agar putusan perkara tiga korporasi besar itu ontslag.
Dikutip dari laman kejaksaan.go.id pada Senin (14 April 2025), pemberian uang itu bermula dari kesepakatan antara AR selaku pengacara tersangka korporasi dan WG selaku panitera muda perdata pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk mengurus perkara korupsi tiga korporasi minyak goreng dengan permintaan agar perkara tersebut diputus ontslag dengan menyiapkan uang Rp 20 miliar.
Arif menyetujui permintaan putusan ontslag tersebut, namun meminta uang senilai Rp 60 miliar. Uang Rp 60 miliar dalam bentuk dolar Amerika kemudian diberikan AR melalui WG dan diserahkan kepada Arif. WG sebagai penghubung mendapatkan USD 50.000 sebagai jasa penghubung. AR dan WG juga sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tersebut.
Setelah terbit penetapan sidang, Arif memanggil Djuyamto dan Agam Syarief dan memberikan uang Rp 4,5 miliar sebagai uang baca berkas perkara dan agar perkara tersebut diatensi. Uang kemudian dibagi tiga hakim.
Berikutnya, Arif menyerahkan uang Rp 18 miliar kepada Djuyamto (DJU) agar perkara korupsi ekspor CPO divonis lepas. DJU kemudian membagi uang menjadi tiga dengan porsi pembagian ASB menerima Rp 4,5 miliar, DJU Rp 6 miliar, dan AL Rp 5 miliar.
”Ketiga hakim tersebut mengetahui tujuan dari penerimaan uang tersebut agar perkara tersebut diputus ontslag dan pada tanggal 19 Maret 2025 perkara tersebut di putus ontslag.” (*)