32.8 C
Surabaya
28 April 2025, 17:57 PM WIB

Sejarah Etnis Tionghoa di Surabaya, Posisi Sulumayi dan Kedatangan Laksamana Ceng Hoo

METROTODAY, SURABAYA – Surabaya sejak dulu dikenal sebagai kawasan terbuka. Maklum secara geografis, letaknya di tepi laut dan muara sungai dan menjadi pintu gerbang kerajaan Majapahit, kerajaan besar yang terkenal di Nusantara yang berpusat di Jawa Timur. Surabaya menjadi pintu keluar masuk ke pedalaman pulau Jawa.

Catatan tentang kedatangan bangsa Mongol pada akhir abad 13 dan Laksamana Cheng Ho pada abad 15 menjadi catatan otentik tentang sejarah bangsa bangsa dari daratan China yang pernah masuk ke Indonesia lewat Surabaya.

Kisah perjalanan Cheng Ho ini sebagaimana ditulis Ma Huan (juru tulis Cheng Ho) dalam catatan yang berjudul Ying-Yai Sheng-Lan, The Overal Survey of the Ocean’s Shores, yang diterjemahkan dari the Chinese text dan diedit oleh Feng Ch’eng-Chiin lalu diterbitkan oleh Cambridge University Press 1970, Surabaya adalah salah satu titik persinggahan Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming (1403-1424) sebelum sampai ke tujuan di pedalaman Jawa, tepatnya Majapahit.

Dari catatan Ma Huan, diceritakan bahwa sesampai di Tuban, setelah mendarat di Jepara (Jawa Tengah), ia berlayar dari Tuban bergerak setengah hari ke timur, dan sampai di Xincun (desa baru), atau apa yang disebut oleh penduduk setempat sebagai Gresik.

Pada awalnya tempat itu hanyalah wilayah pantai berpasir yang kosong. Kemudian orang Tionghoa datang dan menghuninya. Mereka pun menetap di sana dan menamakannya Xincun.

Mereka yang tinggal di tempat itu, kebanyakan adalah orang orang dari Guangdong. Kira-kira jumlahnya ada 1000 keluarga lebih.

Kemudian, dari sana bila berlayar ke selatan lebih dari 20 li (12 km), akan tiba di Su-lu-ma-yi.

Tempat itu kemudian diberi nama oleh penduduk setempat sebagai Su-er-ba-ya (Surabaya).

Di sana terdapat seorang kepala desa yang mengatur penduduk yang jumlahnya 1000 keluarga. Di antaranya, juga ada orang-orang dari Tiongkok.

Jadi saat kedatangan Cheng Ho di Surabaya (Su-Lu-Ma-Yi), sudah ada warga etnis China. Diduga mereka adalah pendatang asli China sebelum Cheng Ho datang.

Dari Surabaya, dengan perahu kecil sejauh 70-80 li (42 km), akan menemukan sebuah pasar bernama Zhang-gu (Pelabuhan Canggu). Setelah turun dari perahu dan berjalan kaki ke arah selatan selama satu setengah hari, sampailah di Majapahit.

Menurut dosen Sastra China, Martinus Herwiratno, Surabaya bagi para pendatang Tionghoa kala itu disebut Sishui, yang arti harafiahnya adalah Empat Air (sungai). Maksudnya satu kawasan yang dikelilingi oleh 4 air atau sungai.

Kawasan Pecinan Surabaya tempo dulu. Foto: dok

Satu kawasan dengan 4 sungai yang mengelilingi ini adalah kawasan Pecinan di Surabaya Utara.

Empat sungai dimaksud adalah Kalimas (barat), Pegirian (timur), jalan Kalimati wetan-kulon-kali Malang (Utara: dulu adalah sungai yang menghubungkan Kalimas dan Pegirian) dan Jalan Waspada (selatan: dulu juga kanal yang menghubungkan Kalimas dan Pegirian).

Ketika kawasan Sishui yang kini dikenal dengan nama Pecinan Surabaya, justru nama Sishui semakin tenggelam dan hilang. Nama Sishui sangatlah langka. Bahkan warga Tionghoa sendiri sekarang jarang mengenal nama Sishui.

Di tengah pemukiman Tionghoa masa lalu inilah kemudian didirikan sebuah kuil sebagai tempat peribadatan dan penghormatan kepada dewa yang dikenal dengan Dewa Kwan Im.

Kuil itu menjadi tempat mereka bersyukur karena dalam selama dan di sepanjang perjalanannya, mereka senantiasa dilindungi dari serangan hewan buas di laut (ikan hiu) dan di muara (buaya).

Kuil itu diberi nama Kuil Dewa Laut Su-ciu-hut dan Kwan Im, yang disingkat menjadi Sishui bio atau Kuil Sishui yang juga berarti Kuil Surabaya.

Sebagai pertanda bahwa kuil alias klenteng yang selanjutnya bernama Hok An Kiong di Jalan Coklat, Pabean Cantikan Surabaya ini, kemudian di bagian depannya dipasang sepasang tiang kapal.

Selain klenteng, masih banyak hal lain yang menjadi bukti budaya dan sejarah etnis Tionghoa di Surabaya. (nng/rjp/mt)

METROTODAY, SURABAYA – Surabaya sejak dulu dikenal sebagai kawasan terbuka. Maklum secara geografis, letaknya di tepi laut dan muara sungai dan menjadi pintu gerbang kerajaan Majapahit, kerajaan besar yang terkenal di Nusantara yang berpusat di Jawa Timur. Surabaya menjadi pintu keluar masuk ke pedalaman pulau Jawa.

Catatan tentang kedatangan bangsa Mongol pada akhir abad 13 dan Laksamana Cheng Ho pada abad 15 menjadi catatan otentik tentang sejarah bangsa bangsa dari daratan China yang pernah masuk ke Indonesia lewat Surabaya.

Kisah perjalanan Cheng Ho ini sebagaimana ditulis Ma Huan (juru tulis Cheng Ho) dalam catatan yang berjudul Ying-Yai Sheng-Lan, The Overal Survey of the Ocean’s Shores, yang diterjemahkan dari the Chinese text dan diedit oleh Feng Ch’eng-Chiin lalu diterbitkan oleh Cambridge University Press 1970, Surabaya adalah salah satu titik persinggahan Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming (1403-1424) sebelum sampai ke tujuan di pedalaman Jawa, tepatnya Majapahit.

Dari catatan Ma Huan, diceritakan bahwa sesampai di Tuban, setelah mendarat di Jepara (Jawa Tengah), ia berlayar dari Tuban bergerak setengah hari ke timur, dan sampai di Xincun (desa baru), atau apa yang disebut oleh penduduk setempat sebagai Gresik.

Pada awalnya tempat itu hanyalah wilayah pantai berpasir yang kosong. Kemudian orang Tionghoa datang dan menghuninya. Mereka pun menetap di sana dan menamakannya Xincun.

Mereka yang tinggal di tempat itu, kebanyakan adalah orang orang dari Guangdong. Kira-kira jumlahnya ada 1000 keluarga lebih.

Kemudian, dari sana bila berlayar ke selatan lebih dari 20 li (12 km), akan tiba di Su-lu-ma-yi.

Tempat itu kemudian diberi nama oleh penduduk setempat sebagai Su-er-ba-ya (Surabaya).

Di sana terdapat seorang kepala desa yang mengatur penduduk yang jumlahnya 1000 keluarga. Di antaranya, juga ada orang-orang dari Tiongkok.

Jadi saat kedatangan Cheng Ho di Surabaya (Su-Lu-Ma-Yi), sudah ada warga etnis China. Diduga mereka adalah pendatang asli China sebelum Cheng Ho datang.

Dari Surabaya, dengan perahu kecil sejauh 70-80 li (42 km), akan menemukan sebuah pasar bernama Zhang-gu (Pelabuhan Canggu). Setelah turun dari perahu dan berjalan kaki ke arah selatan selama satu setengah hari, sampailah di Majapahit.

Menurut dosen Sastra China, Martinus Herwiratno, Surabaya bagi para pendatang Tionghoa kala itu disebut Sishui, yang arti harafiahnya adalah Empat Air (sungai). Maksudnya satu kawasan yang dikelilingi oleh 4 air atau sungai.

Kawasan Pecinan Surabaya tempo dulu. Foto: dok

Satu kawasan dengan 4 sungai yang mengelilingi ini adalah kawasan Pecinan di Surabaya Utara.

Empat sungai dimaksud adalah Kalimas (barat), Pegirian (timur), jalan Kalimati wetan-kulon-kali Malang (Utara: dulu adalah sungai yang menghubungkan Kalimas dan Pegirian) dan Jalan Waspada (selatan: dulu juga kanal yang menghubungkan Kalimas dan Pegirian).

Ketika kawasan Sishui yang kini dikenal dengan nama Pecinan Surabaya, justru nama Sishui semakin tenggelam dan hilang. Nama Sishui sangatlah langka. Bahkan warga Tionghoa sendiri sekarang jarang mengenal nama Sishui.

Di tengah pemukiman Tionghoa masa lalu inilah kemudian didirikan sebuah kuil sebagai tempat peribadatan dan penghormatan kepada dewa yang dikenal dengan Dewa Kwan Im.

Kuil itu menjadi tempat mereka bersyukur karena dalam selama dan di sepanjang perjalanannya, mereka senantiasa dilindungi dari serangan hewan buas di laut (ikan hiu) dan di muara (buaya).

Kuil itu diberi nama Kuil Dewa Laut Su-ciu-hut dan Kwan Im, yang disingkat menjadi Sishui bio atau Kuil Sishui yang juga berarti Kuil Surabaya.

Sebagai pertanda bahwa kuil alias klenteng yang selanjutnya bernama Hok An Kiong di Jalan Coklat, Pabean Cantikan Surabaya ini, kemudian di bagian depannya dipasang sepasang tiang kapal.

Selain klenteng, masih banyak hal lain yang menjadi bukti budaya dan sejarah etnis Tionghoa di Surabaya. (nng/rjp/mt)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

Artikel Terkait

/